Menghardik Anak Yatim

Kisah di Balik Surah Al-Ma’un: Menghardik Anak Yatim

Menghardik Anak Yatim – Al-Qur’an bukan hanya berisi perintah dan larangan, tetapi juga kisah-kisah penuh ibrah (pelajaran) yang relevan sepanjang zaman. Salah satu teguran paling keras datang dari surah pendek yang sering kita baca, Al-Ma’un. Surah ini secara gamblang mengidentifikasi karakteristik “pendusta agama”, dan ciri pertama yang disebutkan adalah perilaku menghardik anak yatim.

Perilaku ini dianggap sangat serius hingga menjadi penanda awal seseorang yang mendustakan agamanya. Lantas, siapa sebenarnya sosok yang menjadi latar belakang turunnya ayat ini? Artikel ini akan mengupas tuntas kisah di baliknya, makna mendalam dari setiap ayat Al-Ma’un, dan relevansinya bagi kehidupan kita di era modern.

Mengenal Surah Al-Ma’un: Teguran Keras di Awal Kenabian

Surah Al-Ma’un adalah surah ke-107 dalam Al-Qur’an dan tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Pada masa ini, nilai-nilai sosial seperti kepedulian terhadap kaum lemah, termasuk anak yatim dan orang miskin, seringkali diabaikan oleh para pembesar Quraisy yang sombong dan hanya mementingkan status serta kekayaan.

Surah ini turun sebagai “tamparan” keras bagi masyarakat jahiliyah saat itu. Ia mendefinisikan ulang makna keimanan sejati, yang tidak hanya tecermin dari ritual ibadah, tetapi juga dari kepedulian sosial yang nyata.

Siapakah Sosok yang Menghardik Anak Yatim?

Para ulama tafsir menyebutkan beberapa riwayat mengenai asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat ini. Meskipun ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang memiliki sifat tersebut, ada beberapa nama tokoh kafir Quraisy yang sering dikaitkan dengan perilaku ini.

Salah satu riwayat yang paling masyhur menyebutkan nama Abu Jahal (Amr bin Hisyam). Diceritakan bahwa ia adalah wali dari seorang anak yatim. Ketika anak yatim tersebut datang kepadanya untuk meminta haknya dari harta peninggalan ayahnya, Abu Jahal dengan kasar menolaknya dan mengusirnya. Perilaku semena-mena inilah yang menjadi salah satu contoh nyata dari tindakan menghardik anak yatim.

Riwayat lain juga menyebutkan nama Abu Sufyan bin Harb (sebelum ia masuk Islam). Dikisahkan bahwa setiap pekannya ia menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang untuk meminta sedikit daging, namun Abu Sufyan justru memukulnya dengan tongkat dan mengusirnya.

Meskipun nama-nama ini disebut dalam kitab tafsir, pesan utama dari ayat ini bersifat universal. Allah SWT tidak hanya mengecam Abu Jahal atau Abu Sufyan secara personal, tetapi mengecam siapa pun yang melakukan perbuatan serupa. Ini adalah peringatan abadi bagi seluruh umat manusia.

Ciri-Ciri Pendusta Agama Menurut Surah Al-Ma’un

Perilaku menghardik anak yatim hanyalah gerbang pembuka. Surah Al-Ma’un kemudian merinci karakteristik lain yang saling berkaitan, membentuk potret utuh seorang pendusta agama.

  1. Tidak Mendorong Memberi Makan Orang Miskin Setelah menyakiti yang lemah (anak yatim), ciri berikutnya adalah kealpaan terhadap penderitaan sesama. Mereka tidak hanya pelit, bahkan enggan untuk sekadar menganjurkan orang lain berbuat baik. Ini menunjukkan matinya empati dan kepedulian sosial dalam diri mereka.
  2. Celaka Orang yang Lalai dalam Shalatnya Ayat ini sering disalahartikan sebagai orang yang meninggalkan shalat. Namun, konteksnya lebih dalam. Kata “saahun” (lalai) di sini merujuk pada mereka yang fisiknya shalat, tetapi hatinya tidak hadir. Mereka shalat tanpa memahami maknanya, menunda-nunda waktunya, dan tidak mengambil pelajaran apa pun dari shalatnya. Ibadah mereka menjadi sebatas rutinitas kosong.
  3. Berbuat Riya’ (Pamer) Kelalaian dalam shalat ini ternyata berkaitan erat dengan motivasi yang salah. Mereka beribadah bukan karena Allah, melainkan untuk dilihat dan dipuji oleh manusia. Shalat dan amal baik mereka menjadi ajang pamer (riya’) untuk membangun citra sebagai orang saleh, padahal hatinya kosong dari ketulusan.
  4. Enggan Memberikan Bantuan Kecil (Al-Ma’un) Puncak dari keburukan sifat ini adalah keengganan untuk memberikan al-ma’un, yaitu bantuan-bantuan kecil dan remeh kepada orang yang membutuhkan. Jika untuk meminjamkan barang sepele seperti garam, wadah, atau timba saja mereka enggan, apalagi untuk memberikan bantuan yang lebih besar. Ini adalah manifestasi dari sifat kikir dan egoisme yang akut.

Pelajaran dan Relevansi di Era Modern

Kisah di balik Surah Al-Ma’un memberikan pelajaran yang sangat relevan hingga hari ini. Keimanan sejati tidak bisa diukur hanya dari seberapa sering seseorang shalat atau pergi ke tempat ibadah. Keimanan yang benar harus tercermin dalam akhlak dan kepedulian sosial.

Seseorang yang rajin shalat namun masih bersikap kasar kepada asisten rumah tangga, abai terhadap tetangga yang kesulitan, atau korupsi di tempat kerja, sejatinya sedang meniru sifat-sifat pendusta agama yang digambarkan dalam surah ini. Ibadah ritualnya belum mampu mengubah karakternya menjadi lebih baik.

Oleh karena itu, mari kita jadikan Surah Al-Ma’un sebagai cermin untuk diri kita. Sudahkah kita memuliakan anak yatim? Sudahkah kita peduli pada nasib kaum dhuafa? Sudahkah shalat kita menghindarkan kita dari perbuatan keji dan pamer?

Baca Juga : Cara Efektif Peduli Yatim Surabaya & Panti Asuhan Terbaik

Surah ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara hubungan vertikal (dengan Allah) dan hubungan horizontal (dengan sesama manusia). Keduanya tidak dapat dipisahkan. Mendustakan salah satunya, berarti mendustakan agama itu sendiri.

Ayo Tebarkan Kebaikan! 🌟
Bantu para penghafal Qur’an, anak yatim, dan dhuafa Kota Surabaya dengan wakaf Al-Qur’an mulai dari Rp 65.000.
Setiap huruf yang dibaca menjadi pahala yang terus mengalir untuk Anda.

💳 Rekening Wakaf:

  • BRI: 0328.0100.1031.303
  • BSI: 744.222.1110
  • Mandiri: 1400.02142.1236
  • Bank Jatim: 0332.4600.05
    a.n. Yayasan Bina Karya Mandiri

🌐 Klik link berikut untuk donasi online:
🔗 https://yakarimsurabaya.org/donasi/wakaf-alquran-anak-yatim/

🤲 Wakaf sekarang, raih pahala tanpa henti!